Contoh
tulisan regresi logistik multinomial dapat diunduh disini.
Contoh sebagian tulisan ebook bab teori seperti dibawah ini:
Contoh sebagian tulisan ebook bab teori seperti dibawah ini:
1. Regresi Logistik
Outcome respon tersebut mempunyai dua
pilihan yang berperan sebagai variable dependen, akibat dari sejumlah
faktor yang mempengaruhinya. Regresi logistik adalah analisis statistik yang
berguna untuk memodelkan hubungan antara variable independen (faktor) dengan
variable dependen dimana variable dependen berupa data non metrik /
kategori (dua respon) dan variable independen dapat berupa data metrik
(interval dan rasio) atau data non metrik (kategori). Hair et al (2010; 316), “Logistic regression, along with discriminant analysis, is
the appropriate statistical technique when dependent variable is a categorical
(nominal or non metric) variable and the independent variable are metric or
nonmetric variable”.
Regresi logistik identik dengan
analisis diskriminan dalam hal tujuannya. Hair et al (2010;317) menyebutkan dua
hal yaitu mengidentifikasi variable independen yang mempunyai kemampuan dalam
mengelompokan keanggotaan variable dependen serta membangun sistem klasifikasi
berdasarkan model logistik untuk menentukan keanggotaan variable dependen.
Kembali kepada kasus kredit macet dan lancar diatas.
Dengan mengetahui
faktor yang berpengaruh terhadap status kredit debitur (lancar dan
macet) maka seorang analis kredit dapat
memprediksi apakah seseorang debitur baru akan macet atau lancar
dalam pengembalian dana pinjaman sebelum memutuskan pemberian kredit.
Ukuran Sample
Regresi logistik membutuhkan jumlah sample yang besar karena
menggunakan penaksir maximum likelihood. Jumlah sample itu setidaknya
harus lebih besar dari jumlah sample yang dibutuhkan dalam analisis regresi
linier berganda. Hosmer and Lemshow dalam Hair et al (2010;319)
menyebutkan 400 observasi. Jika ukuran sample dilihat dari rasio antara jumlah
parameter yang ditaksir maka regresi logistik membutuhkan jumlah rasio dengan
perbandingan 10:1 atau Nancy L Leech et
al (2007;104) menyarankan adalah 20 data per variable independen.
Pemeriksaan Asumsi Regresi Logistik
Hair et al (2010;320), Tabanick
and Fidell (2001;437) menyatakan bahwa regresi logistik tidak mempunyai asumsi distribusi tertentu untuk
variable independen, hubungan antara variable dependen dan independen tidak
linier serta tidak membutuhkan asumsi
homogenitas varians antara kelompok seperti halnya analisis diskriminan.
Meskipun demikian Tabanick and Fidell
(2001;443), Nancy L Leech et al (2007;125) menyatakan bahwa regresi
logistik seperti halnya regresi linier berganda sangat
sensitif terhadap korelasi yang tinggi antara variable independen
(perlunya pemeriksaan multikolinieitas). Oleh karena itu ukuran VIF atau
tolerance atau tingkat korelasi antara variable dapat digunakan untuk melihat
adanya multikolinieritas antara variable independen.
Julie Pallant (2005;167) menambahkan
pentingnya pemeriksaan outlier karena
dapat berpengaruh terhadap salah klasifikasi model dan juga outlier dapat
berpengaruh dalam mengurangi tingkat goodness of fit model. “ it is important to check for the presence of outliers, or
cases that are not well explained by your model. In logistic regression term a
case may be strongly predicted by your model to be one category but in reality
be classified in other category. These outlying cases can be identified by
inspecting the residual, a particularly important step if you have problem with
the goodness of fit of your model”.
2. Uji Chi Square
Uji
ini sangat erat kaitannya dengan table contingency atau
analisis cross
tabulasi. Setelah diketahui distribusi respons dari setiap level kelompok
maka analsis penelitian dapat dilanjutkan dengan melihat apakah terdapat
dependensi antara variable baris dan variable kolom. Arti dependensi menyatakan apakah ada keterkaitan antara
variable baris dan variable kolom.
Uji ini digunakan untuk melihat
kecenderungan atau keterkaitan pola data antara kedua variable tersebut.
Kita dapat menguji apakah ada atau tidaknya dependensi (keterkaitan hubungan)
antara variable baris yaitu jenis kelamin dan variable kolom yaitu respon
variable variasi produk ? Analisis statistik Chi Square
dapat digunakan untuk tujuan ini.
Field
(2009;692) menyatakan “pretty much all of the tests we have encountered ....
have made an assumption about the independence of data and the chi-square test
is no exception....Therefore, you cannot use a
chi-square test on a repeated-measures design (e.g. if we had trained
some cats with food to see if they would dance and then trained the same cats
with affection to see if they would dance. We couldn’t analyse the resulting
data with Pearson’s chi-square test)...The expected frequencies should be
greater than 5. Although it is acceptable in larger contingency tables to have
up to 20% of expected frequencies below 5,
the result is a loss of statistical power (so, the test may fail to detect a
genuine effect). Even in larger contingency tables no expected frequencies
should be below 1. Howell (2006) gives a nice explanation of why violating this
assumption creates problems. If you find yourself in this situation consider
using Fisher’s exact test (section 18.3.2).”
Beberapa asumsi yang perlu diperhatikan dalam penggunaan analisis
uji Chi Square ini adalah setiap data amatan saling bebas yang berarti
bahwa setiap data yang diambil tidak berpengaruh terhadap pengambilan data
kedua dan selanjutnya. Analisis ini tidak tepat
digunakan bila desain penelitian a repeated-measures
design. Setiap cell
diharapkan mempunyai frekuensi minimal 5. Analisis terhadap uji Chi Square
ini sangat rentan terhadap jumlah data oleh karena itu di anjurkan untuk
menggunakan data yang besar.
Lihat contoh tutorial di ebook ini.
3. Uji Asumsi
Ada
banyak metode statistik dalam uji normal univariat ini yaitu metode grafik
histogram, normal Q-Q plot, nilai kurtosis dan skewness serta pengujian
hipotesis dengan statistik Kolmogorov-Smirnov, Shapiro Wilk, Jarque Berra,
Anderson Darling dan lainnya.
Metode ketiga terkait pemeriksaan normalitas data adalah dengan
melihat rasio antara skewness dan kutosis dengan standard errornya. Rule of thumb rasio skewness dengan standard
errornya atau kurtosis dengan standard errornya yang terletak antara -2 hingga
2 dapat dikatakan bahwa data berdistribusi normal.
Metode keempat pemeriksaan normalitas data adalah melalui proses pengujian hipotesis dengan uji statistik. Uji statistik Kolmogorov Smirnov, Kolmogorov Smirnov dengan koreksi Lilliefors atau
Liliefors dan
Shapiro Wilks dapat dilakukan secara otomatis di SPSS
Uji Normalitas
Mooi and Sarstedt (201;160)
menyatakan “ The Shapiro–Wilk test also tests the null hypothesis that
the test variable under consideration is normally distributed. Thus, rejecting
the Shapiro–Wilk test provides evidence that the variable is not normally
distributed. It is best used for sample sizes of less than 50. A drawback of
the Shapiro–Wilk test however, is that it works poorly if the variable you are
testing has many identical values, in which case you should use the
Kolmogorov–Smirnov test with Lilliefors correction”
Uji Multikolinieritas
Alat
statistik yang umum dalam mendeteksi multikolinier adalah variance inflated factor (VIF). Rule of thumb nilai VIF
diatas 10 dapat diidentifikasi adanya gejala
multikolinier yang serius, Gujarati (2003;302).
Uji Outlier Multivariate
“One statistics used to identify multivariate outliers is mahalanobis distance, the distance of a case the
centroid of the remaining cases where the centroid is the intersection of the
means of all the variables in multidimensional space……..A case that is a
multivariate outlier lies outside the swarm, some distance from the other case.
Mahalanobis distance is one of measure of that multivariate distance and it can
be evaluated for case using the Chi square distribution with a very
conservative probability estimate for a case being an outlier (e.g.,p<0.001), Schinka and
Velicer (2003;130).
Independent Sample T Test
Paired
Sample T Test
Analysis
of variance (ANOVA)
One
Way Repeated Anova
Two
Way Anova
Mixed
Between-Within Subject Anova
Multivariate
Analysis of variance (MANOVA)
Analisis
Covarians (ANCOVA)
Two
Way Ancova
5. Multivariate Analysis of Variance (MANOVA)
Analisis ini merupakan kepanjangan dari
Anova ketika jumlah variable dependent yang berskala kontinus lebih dari satu
dimana secara konsep antara variable dependen saling berhubungan. Manova akan
menguji secara simultan apakah terdapat perbedaan rata-rata antara kelompok
(orang atau kondisi) atas kombinasi variable dependent.
Asumsi analisis ini cukup ketat seperti
normalitas data, outlier, linierity,
multicollinearity dan homogeneity variance and covariance matrix.
Analisis ini membutuhkan sample yang besar. Ukuran absolut minimum setiap cell
adalah lebih besar dari jumlah variable dependent. Meskipun demikian Tabachnick
dan Fidell (2007;251) menyatakan bahwa untuk menjamin robustness dari
pemenuhan asumsi normal multivariate maka sebaiknya ukuran sample adalah 20
data setiap cell tanpa adanya data outlier.
Asumsi kedua adakah multivariate normality yang mengandung arti
bahwa data berdistribusi normal secara multivariate (kombinasi dependent
variable). Meskipun demikian analisis ini akan “reasonably robust” jika
ukuran sample cukup besar.
Pemeriksaan outlier dapat dilakukan
secara univariat dan multivariate dimana pemeriksaan outlier multivariate dapat
dilakukan dengan statistik Mahalanobis Distance.
Pemeriksaan linierity menyatakan bahwa ada hubungan linier antara setiap
pasang variable dependent antara kelompok. Pemeriksaan ini dapat dilakukan
dengan scatter plot. Pemeriksaan multicollinearity dilakukan dengan analisis
korelasi bivariate antara variable dependen dimana nilai korelasi diatas (0,80)
atau (0,90) mengandung arti ada problem multicollinearity yang serius.
Pengujian Homogeneity variance covariance matrix dapat
dilakukan dengan Box’s M test. Setelah asumsi terpenuhi maka pengujian perbedaan
rata-rata variable dependent secara simultan antara kelompok dilihat dari 4
(empat) statistic pengujian. Tabachnick dan Fidell (2007;252) menganjurkan
untuk menggunakan nilai Wilks Lamda meskipun demikian jika jumlah sample size
kecil, ukuran sample antara kelompok berbeda (unequal N value) dan pelanggaran
asumsi maka Pillai’s trace lebih robust digunakan. Situasi dimana terdapat 2
kelompok yang akan dibandingkan rata-ratanya maka Hotteling’s trace Wilks lamda
dan Pillai trace akan mempunyai hasil nilai pengujian yang identik.
6. Regresi Linier
Regresi
linier adalah metode statistik yang berguna untuk memodelkan hubungan antara
satu variable independen dengan sejumlah variable dependen, Hair et al
(2010;158). Variable independen disebut
juga variable prediktor, variable penjelas atau lebih familiar
dengan istilah variable bebas. Variable ini menjelaskan variability
yang ada dalam variable dependen. Variable
dependen disebut juga variable terikat yaitu variable yang
dijelaskan variability nya oleh variable bebas. Selain dijelaskan
variability nya oleh variable bebas, nilai dalam variable terikat ini dapat di
prediksi outcome nya oleh satu atau beberapa variable bebas. Secara
umum dapat dikatakan bahwa tujuan analisis regresi adalah untuk memprediksi
nilai variable dependen berdasarkan sejumlah variable independen yang nilainya
telah diketahui peneliti terlebih dahulu. Setiap variable independen telah
diberikan bobot atau disebut koefisien regresi yang memaksimumkan prediksi
variable dependen. Selain
tujuan prediksi, analisis regresi linier juga merupakan teknik analisis
eksplorasi atas sejumlah variable independen untuk menguji variable independen
yang signifikan dan tidak signifikan dalam menjelaskan variable dependen. Gujarati
(2003;92) menyatakan bahwa ada 10 asumsi klasik dalam analisis regresi linier.
Dalam tulisan ini setidaknya ada 5 asumsi yang sering diperhatikan dalam analisis
regresi karena erat kaitannya dengan sifat penaksir OLS yaitu yaitu Liniearity,
Normality, Tidak ada otokorelasi, tidak ada heterokedastisitas dan tidak
ada
multikolinierity
Contoh tutorial
lengkap di SPSS, Eviews dan Stata
7. Structural Equation Modeling dengan Lisrel
Isi bab teori SEM Lisrel :
PRINSIF DASAR SEM
Pengantar
Apa itu SEM
Keunggulan SEM
Langkah SEM
Spesifikasi Model
Identifikasi Model
Asumsi SEM
Missing Data
Linierity
Multicolinierity
Outlier
Normal Multivariat
Ukuran Sample
Estimasi Model
ML, GLS Dan WLS
Non Convergent dan Heywood Cases
Two Step Approach
Ordinal \ Skala Likert Dalam SEM
Pengujian dan Evaluasi Model
Evaluasi Model Pengukuran
Convergent Validity
Evaluasi Model Struktural
Uji t Dan R Square
Evaluasi Keocokan Model
GoF Absolute
GoF Incremental
GoF Parsimoni
Identifikasi Model
Apa itu SEM
Keunggulan SEM
Langkah SEM
Spesifikasi Model
Identifikasi Model
Asumsi SEM
Missing Data
Linierity
Multicolinierity
Outlier
Normal Multivariat
Ukuran Sample
Estimasi Model
ML, GLS Dan WLS
Non Convergent dan Heywood Cases
Two Step Approach
Ordinal \ Skala Likert Dalam SEM
Pengujian dan Evaluasi Model
Evaluasi Model Pengukuran
Convergent Validity
Evaluasi Model Struktural
Uji t Dan R Square
Evaluasi Keocokan Model
GoF Absolute
GoF Incremental
GoF Parsimoni
Identifikasi Model
Howe
(1955), Anderson dan Rubin (1956) dan Lawley (1958) memulai pengembangan
analisis faktor confirmatory (CFA) yang kemudian dikembangkan secara
penuh oleh Karl Joreskog (1960). Pengembangan model SEM yang merupakan
kolaborasi path analysis dan CFA yaitu menggabungkan variable laten dan observed
variable dilakukan oleh Karl Joreskog (1969,1973), Ward Keesling (1972) dan
David Wiley (1973) yang dikenal pertama kali dengan JKW model atau linier structural
relation model (LISREL).
Schumacker dan Lomax
(2010;6-7) menyatakan bahwa setidaknya ada 4 (empat) alasan mengapa SEM begitu
popular digunakan dalam berbagai penelitian yaitu (1) peneliti semakin sadar
pentingnya menggunakan indikator yang banyak dalam pengujian/ pengembangan
teori untuk memahami fenomena yang komplek yang umumnya tidak bisa di lakukan
oleh analisis statistik deskriptif seperti analisis korelasi yang hanya
menggambarkan hubungan dua variable, (2) SEM mampu menguji validity dan reliability
model pengukuran serta model struktural yang secara eksplisit juga menghitung
error measurement, (3) SEM juga memiliki kemampuan untuk menguji teori model
untuk perbedaan antara grup (multiple-group SEM Modeling – multilevel SEM
Modeling) serta pengaruh interaksi antara variable, (4) ketersediaan software
seperti Lisrel yang familiar dan mudah digunakan.
......
.......
Asumsi SEM Lisrel
Periksa
data Anda sebelum di proses lebih lanjut ?. Mengapa ?. Berikut pendapat dari
Schumacker dan Lomax (2012;216) : “Missing
data, outliers, multicollinearity, and nonnormality of data distributions can
seriously affect the estimation process and often result in fatal error
messages pertaining to Heywood variables (variables with negative variance),
non-positive definite matrices (determinant of matrix is zero), or failure to
reach convergence (unable to compute a final set of parameter estimates)”.
Ukuran Sample dalam SEM Lisrel
Ukuran
sample berhubungan erat dengan waktu dan dana yang harus disediakan oleh
peneliti. Semakin besar sample maka akan semakin menggambarkan karakterstik
data populasi meskipun membutuhkan waktu dan dana yang tidak sedikit.
Sebaliknya sedikit ukuran sample yang diambil maka tidak akan menggambarkan
karakteristik populasi penelitian dan berujung kepada kesimpulan yang bias.
Berapa ukuran sample yang sesuai untuk analisis SEM ? Berikut beberapa pendapat
terkait jumlah sample yang dibutuhkan untuk analisis SEM yang dapat
dipertimbangkan dalam penelitian.
Iacobucci (2009), Hox and Backer (2008) menyarankan ukuran sample yang
praktis untuk SEM adalah 200 observasi. Mueller (2013) menggunakan ukuran rasio
jumlah indikator yaitu 10:1
Beberapa pendapat
yang dinyatakan para ahli yang terkutip dalam Schumacker dan Lomax (2010;42)
adalah sebagai berikut.
Ding, Velicer, and Harlow
(1995) dan juga (e.g.,Anderson & Gerbing, 1988) menyatakan bahwa ukuran
sample minimum 100 – 150 adalah cukup untuk analisis SEM.
Boomsma (1982, 1983)
merekomendaska ukuran sample adalah 400
Costello and Osborne (2005)
membuat simulasi monte carlo menyatakan bahwa ukuran sample ideal
yang direkomendasikan adalah 20 per indikator
Menurut Schumacker dan Lomax
(2010) berdasarkan pengamatan dalam jurnal yang menggunakan SEM menenukan
ukuran sample 250 – 500 subjek.
Bentler and Chou (1987)
menyarankan menggunakan rasio sedikitnya 5 subjek per indikator jika data
berdistribusi normal dan rasio 10 : 1 untuk distribusi lainnya. Sejalan hal ini
dikemukakan oleh Raykov dan Widaman (2009) menggunakan aturan rasio lebih 5:1
subjek ke parameter yang akan ditaksir jika distribusi data hingga moderat non
normal dengan penaksir ML.
Pendapat lainnya
terkait ukran sample dikemukakan oleh Hair et al (2010;637) yaitu sebagai
berikut :
SEM model dengan melibatkan (≤
5) variable laten; minimal 3 indikator setiap variable laten; dan mempunyai
nilai item communalities yang tinggi diatas 0,60 maka ukuran sample
adalah 100 – 150.
SEM model dengan melibatkan (≥
6) variable laten; mempunyai indikator kurang dari 3; item communalities
yang rendah maka ukuran sample adalah lebih dari 500.
8. SEM PLS
(Partial Least square Path Modeling)
Bab
teori SEM PLS meliputi:
Teori Dasar Partial Least Square Path Modeling
Mengapa Partial Least Square Path Modeling
Alasan Memilih Analisis PLS
Ukuran Sample
Kompleksitas Model
Distribusi Data
Reflektif versus Formatif
Langkah Analisis PLS
Evaluasi Model Pengukuran
Evaluasi Model Struktural
Goodness of Fit Model
Mengapa Partial Least Square Path Modeling
Alasan Memilih Analisis PLS
Ukuran Sample
Kompleksitas Model
Distribusi Data
Reflektif versus Formatif
Langkah Analisis PLS
Evaluasi Model Pengukuran
Evaluasi Model Struktural
Goodness of Fit Model
Mengapa Partial Least
Square Path Modeling
Banyak peneliti berasumsi bahwa analisis structural equation modeling (SEM) identik dengan SEM covariance based (CB-SEM) yang diolah dengan software seperti Lisrel, Amos dan EQS. Hal ini sangat wajar karena CB-SEM begitu popular dan banyak digunakan dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan lebih awal. Meskipun demikian pendekatan baru yang mulai mendapat perhatian dari banyak peneliti adalah partial least square path modeling (PLS-SEM) dimana analisis ini digunakan dalam situasi dimana CB-SEM tidak memungkinkan.
Banyak peneliti berasumsi bahwa analisis structural equation modeling (SEM) identik dengan SEM covariance based (CB-SEM) yang diolah dengan software seperti Lisrel, Amos dan EQS. Hal ini sangat wajar karena CB-SEM begitu popular dan banyak digunakan dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan lebih awal. Meskipun demikian pendekatan baru yang mulai mendapat perhatian dari banyak peneliti adalah partial least square path modeling (PLS-SEM) dimana analisis ini digunakan dalam situasi dimana CB-SEM tidak memungkinkan.
PLS-SEM
adalah pendekatan model kausal yang bertujuan untuk memaksimumkan varians
konstrak variable dependen. Hair, Ringle, Sarstedt (2011) menyatakan
sebagai berikut “PLS-SEM is a causal modeling
approach aimed at maximizing the explained variance of the dependent latent
constructs. This is contrary to CB‑SEM’s objective of reproducing the
theoretical covariance matrix, without focusing on explained variance”.
Oleh
karena tujuan tersebut PLS-SEM disebut juga variance based SEM. Pendekatan ini
berbeda dengan tujuan analisis CB-SEM yang menghasilkan matriks kovarians teori
tanpa memusatkan pada varians yang dijelaskan.
Analisis
CB-SEM dimulai dari membangun matrik kovarians teori berdasarkan persamaan
struktural yang telah dispesifikasikan lebih awal oleh peneliti. Teknik
estimasi yang digunakan yaitu maximum likelihood difokuskan untuk menghasilkan
parameter model yang menghasilkan perbedaan minimum antara matrik kovarians
teori dengan matrik kovarians estimasi. CB-SEM membutuhkan asumsi yang harus
terpenuhi seperti normal multivariat dan ukuran sample yang besar. Akan tetapi
jika asumsi CB-SEM tidak terpenuhi maka tujuan penelitian lebih diutamakan
prediksi dibandingkan konfirmasi pada hubungan struktural yang dibangun
sehingga penggunaan SEM berbasis varians atau PLS-SEM lebih disukai. Jika
pelanggaran asumsi CB-SEM maka hasil PLS-SEM menunjukan lebih robust pada
estimasi model structural yang dihasilkan.
Menurut Henseler, Ringle dan Sinkovics (2009) ada 4 (empat) alasan penggunaan PLS sangat popular di kalangan peneliti yaitu
a) PLS-SEM dapat bekerja dengan model pengukuran reflektif dan formatif.
b) PLS-SEM dapat digunakan untuk estimasi model kausal dengan ukuran sample kecil.
c) PLS-SEM model dapat bekerja dengan model kompleks tanpa “kuatir” permasalah model tidak teridentifikasi sebagaimana yang sering terjadi dalam CB-SEM seperti muncul : solusi tidak konvergen atau heywood cases .
d) PLS-SEM model dapat digunakan untuk model dengan distribusi data skew (tidak normal) atau tidak ada kepastiasn bahwa observasi yang digunakan saling bebas.
Ukuran Sample
PLS-SEM
sangat potensial untuk aplikasi dalam ilmu sosial dimana informasi, distribusi
data dan ukuran sample terkadang sangat tidak realistis untuk diolah dengan
CB-SEM, sehingga penggunaan PLS-SEM dapat menjadi jalan alternatif. PLS-SEM
dapat bekerja dengan efisien untuk beragam ukuran sample, kompleksitas model
karena asumsi yang lebih longgar dibandingkan dengan CB-SEM.
Sebagaimana diketahui bahwa CB-SEM membutuhkan ukuran sample yang besar. Hair et al (1998) menyebutkan minimal 100 observasi, Anderson dan Gerbing (1984) dalam Iacobucci (2009) memberikan pendapat minimum sample CB-SEM adalah 150 untuk memperoleh model yang konvergen. Rule of thumb yang umum digunakan dalam jurnal penelitian sebagai mana yang dikutip oleh Scumacker dan Lomax (2010) adalah sekitar 230. Boomsma dan Hoogland (2001) menyebutkan bahwa jika CB-SEM menggunakan ukuran sample kecil maka seringkali model tidak konvergen atau tidak menemukan taksiran parameter yang unik.
Dalam kondisi dimana peneliti tidak memungkinkan untuk memperoleh ukuran sample yang besar maka PLS-SEM dapat menjadi alternatif untuk digunakan. Meskipun demikian perlu dicatat bahwa direkomendasikan ukuran sample dalam PLS-SEM adalah 10 kali jumlah indicator formatif atau 10 kali banyaknya path coefficient dalam model structural .
Kompleksitas Model
Kompleksitas model juga mendapat perhatian dari banyak peneliti ketika diaplikasikan CB-SEM. Henseler, Ringler dan Sinkovic (2009) menyatakan bahwa ukuran GoF seperti GFI dan AGFI menurun ketika kompleksitas model meningkat. Bahkan Boomsma dan Hoogland (2001) melakukan eksperimen dengan beragam “kompleksitas” model menemukan bahwa dengan meningkatnya kompleksitas model maka potensi model tidak konvergen meningkat.
Sebagaimana diketahui bahwa CB-SEM membutuhkan ukuran sample yang besar. Hair et al (1998) menyebutkan minimal 100 observasi, Anderson dan Gerbing (1984) dalam Iacobucci (2009) memberikan pendapat minimum sample CB-SEM adalah 150 untuk memperoleh model yang konvergen. Rule of thumb yang umum digunakan dalam jurnal penelitian sebagai mana yang dikutip oleh Scumacker dan Lomax (2010) adalah sekitar 230. Boomsma dan Hoogland (2001) menyebutkan bahwa jika CB-SEM menggunakan ukuran sample kecil maka seringkali model tidak konvergen atau tidak menemukan taksiran parameter yang unik.
Dalam kondisi dimana peneliti tidak memungkinkan untuk memperoleh ukuran sample yang besar maka PLS-SEM dapat menjadi alternatif untuk digunakan. Meskipun demikian perlu dicatat bahwa direkomendasikan ukuran sample dalam PLS-SEM adalah 10 kali jumlah indicator formatif atau 10 kali banyaknya path coefficient dalam model structural .
Kompleksitas Model
Kompleksitas model juga mendapat perhatian dari banyak peneliti ketika diaplikasikan CB-SEM. Henseler, Ringler dan Sinkovic (2009) menyatakan bahwa ukuran GoF seperti GFI dan AGFI menurun ketika kompleksitas model meningkat. Bahkan Boomsma dan Hoogland (2001) melakukan eksperimen dengan beragam “kompleksitas” model menemukan bahwa dengan meningkatnya kompleksitas model maka potensi model tidak konvergen meningkat.
Lebih
dari itu heywood cases juga berpotensi untuk muncul terlebih data tidak
berdistribusi normal multivariat dan adanya outlier. Sebaliknya PLS-SEM dapat
bekerja dengan model kompleks tanpa perlu kuatir model tidak teridentifikasi.
Algoritma PLS-SEM secara khusus dibangun untuk menghasilkan model
teridentifikasi.
Henseler, Ringle dan Sinkovics (2009) menyatakan “…in the normal data scenario, CBSEM provides accurate and robust parameter estimates that are equal or superior in comparison to PLS estimates, no matter what measurement models are used. However, if the premises for the application of CBSEM are violated, such as regarding the required minimum number of observations for robust model estimations or the multivariate normality assumption for some CBSEM discrepancy functions, the PLS approach offers robust approximations”.
Henseler, Ringle dan Sinkovics (2009) menyatakan “…in the normal data scenario, CBSEM provides accurate and robust parameter estimates that are equal or superior in comparison to PLS estimates, no matter what measurement models are used. However, if the premises for the application of CBSEM are violated, such as regarding the required minimum number of observations for robust model estimations or the multivariate normality assumption for some CBSEM discrepancy functions, the PLS approach offers robust approximations”.
CB-SEM
akan bekerja dengan optimal ( menghasilkan taksiran parameter yang akurat dan
robust) dalam kondisi distribusi data normal multivariat, sebaliknya dengan
meningkat derajat ketidaknormalan data maka hasil estimasi parameter cenderung
bias. Oleh karena itu dalam kondisi dimana distribusi data tidak terpenuhi
maka pilihan PLS-SEM dapat menjadi alternatif.
....
....
...
dan seterusnya ....
Internal Consistency
Reliability.
Cronbach’s Alpha umumnya digunakan untuk melihat internal consistency reliability. Meskipun demikian Chin (1998) dalam Vinzi, Trinchera dan Amato (2010), ukuran ini cenderung underestimate dalam analisis PLS-SEM karena asumsi yang dibangun dari Cronbach’s Alpha adalah semua indicator memiliki makna yang sama (reliable) dalam mengukur konstrak.
Oleh karena itu Henseler, Ringle dan Sarstedt (2009) merekomendasikan untuk menggunakan ukuran composite reliability yang diformulasikan oleh Joreskog (1971) dimana ukuran ini dihitung berdasarkan reliabilitas indicator dari faktor loading yang berbeda akan tetapi interpretasi composite reliability adalah sama dengan cronbach’s alpha
Apa Itu Variable Moderasi
Dalam paper yang ditulis oleh Kim et al (2001) tentang moderating and mediating effect in causal modeling disebutkan beberapa hal pernyataan terkait moderating variable yaitu sebagai berikut:
Cronbach’s Alpha umumnya digunakan untuk melihat internal consistency reliability. Meskipun demikian Chin (1998) dalam Vinzi, Trinchera dan Amato (2010), ukuran ini cenderung underestimate dalam analisis PLS-SEM karena asumsi yang dibangun dari Cronbach’s Alpha adalah semua indicator memiliki makna yang sama (reliable) dalam mengukur konstrak.
Oleh karena itu Henseler, Ringle dan Sarstedt (2009) merekomendasikan untuk menggunakan ukuran composite reliability yang diformulasikan oleh Joreskog (1971) dimana ukuran ini dihitung berdasarkan reliabilitas indicator dari faktor loading yang berbeda akan tetapi interpretasi composite reliability adalah sama dengan cronbach’s alpha
Apa Itu Variable Moderasi
Dalam paper yang ditulis oleh Kim et al (2001) tentang moderating and mediating effect in causal modeling disebutkan beberapa hal pernyataan terkait moderating variable yaitu sebagai berikut:
“a moderator variable may reduce or
enhance the direction of the relationship between a predictor variable and a
dependent variable, or it may even change the direction of the relationship
between the two variables from positive to negative or visa versa…… a moderator
variable can be considered when the relationship between a predictor variable
and a dependent variable is strong, but most often it is considered when there
is an unexpectedly weak or inconsistent relationship between a predictor and a
dependent variable….. The moderating effect is typically expressed as an
interaction between predictor and moderator variable”
Dari
pernyataan diatas dapat ditarik empat hal penting tentang variable moderasi
yaitu (1) variable moderasi adalah variable eksogen, (2) mempunyai peran yang
dapat memperkuat atau memperlemah hubungan (3) juga bahkan dapat merubah tanda
arah hubungan antara variable eksogen terhadap variable endogen dan (4) effect
variable moderasi dilihat dari interkasi antara variable eksogen dengan
variable moderasi.
Multigroup Analysis
(MGA)
dalam PLS-SEM berguna untuk melihat apakah populasi terbagi menjadi
segemen-segmen tertentu berdasarkan karakteristik demografik dengan
membandingkan signifikansi koefisien jalur antara segmen-segmen tersebut.
Analisis ini merupakan kepanjangan dari metode analisis dengan variable
moderasi bila skala pengukuran variable moderasi adalah “data kategori”. Misal
menguji apakah terdapat perbedaan tingkat kepuasan yang dipengaruhi oleh faktor
harga antara kelompok laki-laki dan perempuan ?. Jika terdapat perbedaan
bermakna maka menunjukan heterogenitas dalam populasi.
Ada 3 (tiga) metode yang digunakan untuk MGA ini yaitu Metode Parametrik, Welch-Satterthwait Test dan Henseler’s MGA. Metode parametrik diperkenalkan oleh Chin (2000) dan Keil et al (2000) . Metode ini menggunakan pendekatan analisis “unpaired sample t test”. Metode ini mengasumsikan bahwa varians antara kedua kelompok yang diperoleh dari hasil distribusi bootstrapping adalah homogen . Sebaiknya metode Welch-Satterthwait Test mengasumsikan bahwa varians dari kedua kelompok hasil distribusi boostrapping adalah heterogen (berbeda). Modifikasi formula pengujian “unpaired sample t test”.
Metode Henseler’s MGA didasarkan pada analisis perbandingan yang bersifat non parameterik. Chin (2000) dalam Henseler (2012) menyatakan bahwa PLS-SEM menggunakan distribution free oleh karena itu disarankan untuk pendekatan analisis MGA ini menggunakan analisis perbandingan non parameterik. “dalam Henseler (2012) dinyatakan ….As Chin (2000) notes, the parametric assumptions of this approach constitute a major shortcoming. As PLS itself is distribution-free, it would be favorable to have a non-parametric PLS-based approach to multi-group analysis”.
Ada 3 (tiga) metode yang digunakan untuk MGA ini yaitu Metode Parametrik, Welch-Satterthwait Test dan Henseler’s MGA. Metode parametrik diperkenalkan oleh Chin (2000) dan Keil et al (2000) . Metode ini menggunakan pendekatan analisis “unpaired sample t test”. Metode ini mengasumsikan bahwa varians antara kedua kelompok yang diperoleh dari hasil distribusi bootstrapping adalah homogen . Sebaiknya metode Welch-Satterthwait Test mengasumsikan bahwa varians dari kedua kelompok hasil distribusi boostrapping adalah heterogen (berbeda). Modifikasi formula pengujian “unpaired sample t test”.
Metode Henseler’s MGA didasarkan pada analisis perbandingan yang bersifat non parameterik. Chin (2000) dalam Henseler (2012) menyatakan bahwa PLS-SEM menggunakan distribution free oleh karena itu disarankan untuk pendekatan analisis MGA ini menggunakan analisis perbandingan non parameterik. “dalam Henseler (2012) dinyatakan ….As Chin (2000) notes, the parametric assumptions of this approach constitute a major shortcoming. As PLS itself is distribution-free, it would be favorable to have a non-parametric PLS-based approach to multi-group analysis”.
Lengkap Pembahasan Teori & Aplikasi, Contoh & Interpretasi.
Lengkap lebih dari 100an tutorial dengan SPSS, LISREL, SMARTPLS, EVIEWS dan STATA
Lengkap lebih dari 100an tutorial dengan SPSS, LISREL, SMARTPLS, EVIEWS dan STATA
InsyaAllah lengkap di bahas disini.
Harga Terjangkau
Format Tulisan Pdf
Format Tulisan Pdf
Salam,
Sofyan Yamin
WA: 0812 1825 2356